Suatu penghargaan dan kehormatan bagi saya dapat menjadi bagian dari Tim HILLSI Nasional untuk berkunjung ke Australia dalam kegiatan HILLSI Goes To Aussie. Sebuah kegiatan training yang dikemas dalam study tour bekerjasama dengan UIL (Union Institute of Language) dan TAFE Queensland.
HILLSI (Himpunan Lembaga Pelatihan Seluruh Indonesia) adalah asosiasi yang mewadahi lembaga-lembaga yang bergerak dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan kerja. Secara hirarki memiliki struktur kepengurusan mulai dari pusat hingga tingkat kabupaten/kota.
Tim HILLSI bertolak dari tanah air melalui Denpasar pada tanggal 4 November 2017 langsung menuju Brisbane yang merupakan Capital Citynya Queensland. Queensland adalah satu dari enam negara bagian di Australia dengan jumlah penduduk sekitar empat juta jiwa. Queensland memang dimata orang Indonesia tidak terlalu Familier. Ketika menyebut Australia biasa ingatannnya tertuju pad dua kota besar yaitu Sydney atau Melbourn. Bahkan Canberra pun sebagai ibukota Negara Australia kalah populer dengan dua Kota tersebut.
Program HILLSI Goes to Aussie selama 14 Hari di Queensland adalah belajar lebih dekat tentang VET System Australia (Vocational Education and Training), atau sistem pendidikan vokasi dan pelatihan yang dikembangkan di Australia serta AQF (Autralian Qualification Fremwork) yang kalau di Indonesia KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Konon ceritanya diantara negara-negara yang relatif maju, negara ini termasuk yang sangat berhasil menerapkan sistem pendidikan vokasi, dan informasinya Indonesia termasuk yang mengadopsi untuk pengembangan KKNI serta model asesmen kompetensi yang di kembangkan oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) dalam melakukan sertifikasi kompetensi.
Jadi saya kira tidak keliru kalau HILLSI yang terdiri dari 24 peserta dari beberbagai macam daerah di Indonesia belajar kesana untuk dapat memahami dan melihat implementasinya secara langsung.
Selama 14 hari di Queensland waktu kami di bagi di dua tempat yaitu di UIL (Union Institut of Language) dan TAFE Queensland. Di UIL kami banyak belajar bahasa yang dikemas dengan mengenal Australia lebih khusus Queensland dan segala potensi yang dimilikinya. Mulai pendidikan, budaya, pariwisata, alam dan kehidupan di Australia. UIL adalah lembaga pendidikan bahasa yang dimiliki swata yang memberikan kursus dan pelatihan bahasa Inggris. Banyak negara yang belajar bahasa disini, terutama dari Asia seperti Jepang, China, Korea, Thailand, Malaysia, sedangkan dari Indonesia belum terdengar. Termasuk kenapa UIL berminat kerjasama dengan HILLSI konon ceritanya ingin mengembangkan jaringan market di Indonesia bagi yang ingin belajar langsung bahasa di Australia.
Sedikit yang agak takjub, kenapa dari sekian yang belajar disini di dominasi oleh siswa dari Jepang. Usut punya usut, guna mempersiapkan WTO alias perdagangan bebas dunia yang akan diterapkan 2020, ada sekitar 130 negara yang akan berkompetisi dalam perdagangan bebas dunia, faktor bahasa menjadi hal yang sangat mendasar dalam mempersiapkannya. Untuk itulah kenapa Jepang banyak mengirimkan siswa kelas 2 High Schooll/SMA mereka guna belajar bahasa selama 10 bulan. Mereka tinggal di Home Stay, sehingga lebih memungkin mereka langsung berinteraksi dan praktek bahasa dengan baik. Saya hanya membayangkan, Jepang sebagai negara yang relatif telah maju, sudah sedemikian ini mempersiapkan diri. Sedangkan Indonesia isu WTO 2020 pun masih sayup-sayup bahkan nyaris belum terdengar, terlebih lagi mempersiapkan diri menghadapinya, belum tampak ada gerakan.
7 hari di UIL cukup menginspirasi saya dan teman-teman bahkan berfikir bisa buat paket khusus datang lagi ke Aussie belajar khusus bahasa. Dan memang di UIL ini pesertanya adalah peserta internasional. Saya lupa juga nanya apa ada juga orang Australia yang belajar disini.
Minggu kedua kami di TAFE Queensland. Nah ini sesungguhnya target inti HILLSI Goes to Aussie. Ingin belajar langsung VET System dan AQF nya Australia. Klo kita di UIL lebih menggali inspirasi pengambangan lembaga, bahasa dan seputar Austrasia serta diajak kebeberapa tempat yang menjadi destinasi unggulan di Queensland bagi mereka yang bertandang. Sedangkan di TAFE kegiatannya agak lebih serius, karena semua kegiatan dilakukan di kelas, mulai pagi sampai sore.
Kebiasaan di banyak kegiatan, acara jalan-jalan itu diakhir kegiatan. Namun saat di UIL untuk mengetahui tentang Australia disamping di dalam kelas sampai siang hari, setelahnya langsung diajak jalan-jalan melihat apa yang dibahas di dalam kelas.
Namun di tengah jalan-jalan banyak sekali pengalaman yang positif bisa saya dapatkan. Memang kalau bicara tentang alam sebagai destinasi wisata, Indonesia saya rasa masih menjadi tempatnya. Hanya saja mungkin di sini sistem tatakelolanya agak lebih kelihatan terkelola.
Yang membuat saya terkesan disini adalah fasilitas publiknya yang sangat luar biasa. Pemerintah Australia tampak sangat memperhatikan fasilitas bagi masyarakatnya dan semua itu dapat diakses secara gratis. Mulai dari taman yang luas dan indah dilengkapi fasilitas Barbaque bagi siapa yang yang ingin menggunakan, kolam renang, museum, kapal susur sungai dan lain sebagainya. Semua dapat kita akses secara gratis. Konon ini memang disediakan sebagai kompensasi bagi warganya yang taat bayar pajak. Sampai-sampai toilet pun Gratis. Saat saya ke Singapura masih banyar pakai koin 10sen atau klo dirupiahkan mungkin sekitar Rp. 900.-. sedangkan di Indonesia toilet umum antara Rp. 2.000- Rp. 4.000.- tergantung kebutuhannya, jadi kelihatannya klo perkara toilet umum agak mahal di Indonesia. Tapi yang pasti buat yang hobby selfy disini surganya, banyak sekali spot-spot selfy walaupun sebenarnya orang Australia sendiri tidak senang selfy. Termasuk posting foto dan up date status di media sosial tidak terlalu heboh kaya di Indonesia.
Di TAFE Queensland kami selama 5 hari betul-betul mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang baik sekaligus komparasi dengan apa yang dilakukan di Indonesia khususnya bagaimana implementasi VET System dan AQF di Autralia. Disampaikan dengan baik secara rinci dan terstruktur oleh para tim Instruktur TAFE. Tidak hanya didalam kelas, kamipun juga di ajak untuk mengunjungi beberapa TAFE yang ada di Queesland guna melihat secara langsung bagaimana fasilitas dan proses belajar yang dilakukan di TAFE.
Dari tadi selalu menyebutkan TAFE. Apa sih TAFE…? nah supaya lebih mudah mengilustrasinnya TAFE kalau di Indonesia itu semacam BLK atau Balai Latihan Kerja yang dimiliki oleh Pemerintah. TAFE singkatan dari Technical And Further Education merupakan lembaga milik Pemerintah juga dengan 33 kampus yang tersebar di 6 region Queensland Australia antara lain TAFE Brisbane, East Coast, South West, North, Skill Tech dan Gold Coast. Namun untuk pelatihan ini dipusatkan di kampus utama TAFE Queensland Gold Coast.
TAFE di Queensland sebagai sebuah BLK jangan dibayangkan persis seperti di Indonesia. Ada beberapa perbedaan yang sangat mencolok. Sama-sama lembaga milik negara namun TAFE pengelolaanya bergaya swasta. Dimana setiap peserta yang ikut juga harus bayar biaya pendidikan, namun ada juga beasiswa pemerintah atau mungkin biaya dari industri alias pihak ketiga, atau bisa juga ngutang, setelah dapat penghasilan baru bayar. Ini model skema pembiayaan yang dapat terjadi di TAFE.
Berbeda dengan di Indonesia rata-rata BLK menyelenggarakan pelatihan tidak dipungut biaya, inklut dalam program pemerintah untuk memberikan keterampilan kerja kepada masyarakat khususnya yang tidak mampu dan memerlukan keterampilan dalam rangka mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Sedangkan di TAFE sendiri mereka mengikuti program pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan profesi, baik mereka yang memerlukan sertifikat untuk kerja maupun yang meningkatkan level sertifikatnya. Karena sertifikat memang manjadi persyaratan khusus untuk bekerja dan menduduki jabatan di bidang pekerjaan mereka sesuai dengan level AQF yang diminta.
TAFE Queensland sendiri telah berdiri tahun 1929 dan setiap tahunnya meluluskan sekitar 60.000 lulusan dengan 500 lebih program atau paket pendidikan dan pelatihan yang di sediakan.
Dari sisi fasiltas yang di miliki TAFE sangat luar biasa. Untuk mengilustrasikannya mungkin dengan kata modern, lengkap, besar dan luas. Persis seperti kampus-kampus terkemuka di tanah air dengan halaman parkir kendaraan yang luas serta kantin dan fasilitas lounge bagi mahasiswa beristirahat.
Disamping TAFE di Austraslia ada juga lembaga swasta yang menyelenggarakan pendidikan dan Pelatihan yang disebut dengan RTOs (Registered Training Organisations) atau kalau di Indonesia itu ada yang disebut dengan LPK atau LKP. Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) dibawah binaan Kementerian Tenaga Kerja sedangkan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LPK) dibawah Kementerian Pendidikan.
Nah ini juga yang menarik bagi saya. Kalau di Australia segala urusan yang berkenaan dengan pendidikan, pelatihan dan pengembangan SDM itu ditangani hanya satu departemen yaitu Depertemen of Education and Traning. Sedangkan kalau di Indonesia terlihat seperti “semangat gotong royong”. Kementerian yang menangani pendidikan tidak hanya Kementerian Pendidikan namun di samping Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada kementerian lain, seperti Kementerian Tenaga Kerja, Riset dan Dikti, Kementerian Agama, Kesehatan dan hampir semua kementerian memiliki lembaga pendidikan atau pelatihan tersendiri.
Saya belum mengerti persis apakah ini keuanggulan atau justru menjadi tantangan tersendisi bagi kita. Sebab sepengetahuan saya selalu saja ego sektoral antar kementerian itu selalu hadir yang akhirnya dapat berdampak pada hambatan koordinasi dan pencapaian tujuan nasional. Saya hanya berfikir jangankan antar kementerian, internal kementerian antar bagian saja ego sektoranya senantiasa terjadi. Ini tidak lepas selalu masalah wewenang dan anggaran. Dan ada kecendrungan orientasi kerja selama ini masih terkesan sendiri-sendiri minim koordinasi hanya fokus pada mengerjakan program dan merealisasikan anggaran, walaupun sasarannya sama. Kedepan mungkin paradigmanya yang perlu dibangun adalah sinergisitas dan kerja sama. Bukan sama-sama kerja sesuai dengan sektornya masing-masing yang hanya berorientasi pada program dan daya serap anggaran, namun target sasarannya perlu disinergiskan dengan hal lainnya yang lebih substantif.
Khusus dalam bidang pendidikan kalau bisa semua kebijakan pendidikan dilakukan cukup satu kementerian. Sebagai praktisi pendidikan dan pelatihan saya kerkadang dibingungkan dengan regulasi ganda atau berbeda-beda. Atau pun kalau harus tetap dilakukan di berbagai kementerian yang lain tetap dalam satu garis yang di komando oleh Kementerian pendidikan, sehingga anggran tidak mubazir dan sasaran kerja jelas ketika didistribusikan ke kementerian yang lain.
Vocational and Education Training (VET) System Australia
Keberhasilan VET System di Autralia tidak dapat dilepasakan dengan keterlibatan industri didalamnya sebagai kata kunci pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Dimana untuk menyusun materi pelatihan hingga asesmen kompetensi atau yang disebut dengan Training Packages dilakukan bersama dengan industri. Melalui IRC (Industry Reference Committees) dengan disupor oleh SSO (Skill Service Organisations) kemudian di endors oleh AISC (Australian Industry Skills Committe) yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara untuk memberikan usulan-usulan paket pelatihan yang nantinya dilakukan oleh TAFE ataupun RTOs.
Di Indonesia Training Packet dapat terlihat di SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) namum mungkin yang berbeda adalah setiap lembaga pendidikan maupun pelatihan yang mengembangkan program pelatihan hanya mengadopsi semua atau sebagian dengan kemudian melakukan apa yang disebut dengan TNA (Training Need Analysis) bersama dengan industri. Ini sifatnya parsial sangat tergantung pada RTO nya. Artinya tidak dapat diterapkan secara nasional. Ini bisa terlihat dari program yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan mengambil dari SKKNI yang sama tetapi namanya paket programnya berbeda dan Kurikulumnya pun juga beda.
Untuk penjaminan mutu setiap RTO harus dilakukan audit secara berkala yaitu setiap enam bulan sekali oleh ASQA (Australian Skills Quality Authority). Atau klo kita di Indonesia dilakukan dilakukan lima tahun sekali dalam bentuk Akreditasi Lembaga melalui BAN PNF terhadap Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) yang dibina oleh Kemendikbud atau LA LPK terhadap LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang di bina oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Inilah yang mungkin menjadi tantangan tersendiri kalau ingin membuat RTO atau LPK/LKP di Australia, lembaga wajib dan siap untuk di audit dan apa bila ditemukan implementasi yang tidak sesuai dengan standar RTO maka berpotensi tidak dapat dilanjutkan ijin operasioanal. Sedangkan biaya pelaksanaan audit disediakan oleh RTO yang mengajukan audit eksternal. Sehingga sebuah lembaga pelatihan ketika berdiri sudah harus memenuhi standar RTO yang sudah ditentukan. Jadi bisa kebayang kalau untuk mendirikan RTO di Australia betapa susahnya.
Dalam hal mengukur kualitas seorang pengajar atau instruktur yang link dengan industri pun cukup ketat, misalanya seorang pengajar cuti selama 3 bulan tidak mengajar di TAFE maka yang pengajar tersebut harus bekerja dulu di indistri selama 1 tahun baru kemudian dapat mengajar kembali di TAFE. Atau yang sudah mengajar 1 tahun maka mereka harus kembali keindustri juga untuk refresment kompetensinya yang linier ke industri. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi sang pengajar terpelihara.
AQF (Australian Qualification Fremwork)
AQF adalah kebijakan nasional untuk kualifikasi yang diatur dalam pendidikan dan pelatihan Australia. Ini menggabungkan kualifikasi dari masing-masing sektor pendidikan dan pelatihan menjadi satu kerangka kualifikasi nasional yang komprehensif. AQF pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 untuk mendukung sistem kualifikasi nasional di Australia yang mencakup pendidikan tinggi, pendidikan kejuruan, pelatihan dan sekolah.
Dalam menyusun paket pelatihan selalu mengacu pada AQF (Australian Qualification Fremwork). Atau klo di Indonesia IQF (Indonesian Qualification Fremwork) atau KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Yang menarik bagi saya adalah sistem pembagian jalur pencapaian jenjang kualifikasi yang cukup terlihat dengan jelas. Saya maklumi mereka mengembangkan AQF terhitung sudah lama, yaitu tahun 1995 sedangkan di Indonesia baru 2012 melalui Perpres Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
AQF melakukan penjenjangan Kualifikasi mulai dari level 1 s/d 10 dimana untuk mencapai jenjang kualifikasi dapat memilih jalur sistem yang sudah diakui oleh pemerintah secara tersistem baik melalui jalur pendidikan formal (sekolah dan pendidikan tinggi) atau jalur pendidikan Non Formal (VET System) yaitu melalui Pendidikan dan Pelatihan serta Pengalaman Kerja. Kalau melalui pengalaman kerja dapat dilakukan sertifikasi secara langsung sesuai dengan jenjang kualifikasi yang dimiliki dapat melalui RTO sebagai salah satu lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan Sertifikat berbasis AQF. Namun untuk dapat memiliki sertifikat level sesuai kualifikasi harus terlebih dahulu menunjukkan sertifikat sebelumnya. Misalnya seseorang yang memerlukan Sertifikat V maka yang bersangkutan harus menunjukkan Sertifkat III dan seterusnya.
Di Australia RTOs dapat langsung mengelurkan sertifikat kompetensi setelah dinyatakan lulus sertifikasi kompetensi. Berbeda dengan di Indonesia sertifikasi kompetensi dilakukan oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sebuah badan independen di bawah Presiden langsung yang diberikan otoritas untuk melakukan sertifikasi kompetensi. Sedangkan dalam pelaksanaanya BNSP melisensi LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) dalam melakukan secara teknis pelaksanaan sertifikasi .
KKNI (KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA)
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.
KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional, dan sistem penilaian kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes) nasional, yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia nasional yang bermutu dan produktif.
Sedikit berbeda dengan AQF, dalam sistem KKNI Indonesia memiliki Level 1 – 9, sedangkan Australia tadi 1-10. Level ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Level 1 : setara SLTP, Level 2: setara SMU/SMK, Level 3-5: setara D1-D3, Level 6 setara D-IV/S1, Level 7 : setara Profesi, Level 8: setara S2/Spesialis, dan Level 9: setara S3. Secara konseptual penjenangan ini juga mengintegrasikan jalur pendidikan formal, non formal dan pelangalaman kerja. Namun saat ini sejak di tetapkan melalui Perpres Nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Belum tampak atau tersosialisasikan dengan jelas kesetaraan atau pengakuan pada setiap jenjang yang dicapai qualifikasi. Dimana jalur pendidikan formal masih menjadi Indikator utama untuk pengakuan level. Konversi sertifikat pelatihan ataupun sertifikasi kompetensi ke SKS (Sistem Kredit Semester) untuk seseorang yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi belum memiliki mekanisme yang jelas. Bahkan saat ini seorang lulusan S1 atau level 6 KKNI ketika mau lulus harus melampirkan SKPI (Surat Keterangan Pendamping Ijazah) yang itu bisa di dapat melalui jalur pendidikan non formal atau serifikasi kompetensi walaupun dibawah dari level kualifikasi S1/level 6. Dengan pertimbangan sebagai bekal tambahan untuk mereka bekerja. Tentu ini menjadi tantangan bagi kita untuk mengoperasionalkan KKNI yang sudah dimiliki saat ini.
Yang menarik juga di Autralia High Schooll (HSC) tidak dibedakan secara khusus SMA dan SMK. Karena HSC ada yang memang khusus HSC vokasi namun juga ada yang HSC non vokasi alias akademis atau SMA. Namun yang non vokasi juga diberikan pendidikan vokasi dan ketika lulus mendapatkan sertifikat 3. Sertifikat level 3 sebagai persyaratan minimal untuk bekerja di indutri. Sehingka bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi maka bisa langsung bekerja dengan sertifikat level 3 yang mereka miliki. Pendidikan vokasi diberikan saat kelas 11-12.
Menariknya juga saat kami mengunjungi salah satu HSC Negeri di Queenaland tepatnya kawasan Springfieald Education City. Hasil praktek siswa HSC seperti mebel bisa dijual kepasar dengan harga $.1.500.- atau sekitar Rp. 15.000.000.- hasil praktek mereka sudah sesuai dengan standar Industri atau kalau di Indonesia mungkin sudah SNI (standar Nasional Indonesia)
Bagi lulusan SMA yang sudah bekerja ingin meningkatkan level Sertifikat dari level 3 (SMA) setelah mereka bekerja sekian lama maka bisa ke TAFE atau RTO. Dengan cara pendidikan dan pelatihan atau penyesuaian dengan diuji sertifikat ke level IV, tentu dalam bidang vokasi yang sama. Ini diperlukan sebagai jenjang karir yang berpengaruh juga terhadap kompensasi yang diterima sebagai tenaga kerja. Karena kalau bekerja di sini tidak ditanya anda lulusan apa (SMA, SMK, atau S1 dst.) tetapi punya sertifikat level berapa…?
Sebagai ilustasi aja untuk mereka Sertifikat level V atau setara dengan Diploma 3 di Indonesia penghasilan pertahun mereka bisa mencapai $. 60.000 pertahun atau setara dengan Rp. 600.000.000 atau sekitar Rp. 50.000.000.- perbulan. Wow cukup menggiurkan. Memang di Australia penghargaan terhadap profesi sangat tinggi. Jadi inilah mungkin hakikatnya perbedaan antara tenaga kerja yang bersertifikasi dengan yang tidak bersertifikasi.
Akhir dari catatan singkat HILLSI Goes to Aussie ini saya ingin menyampaikan bahwa Implentasi VET System di Australia berhasil karena keterlibatan semua pihak terutama industri. Pemerintah sebagai regulator memfasilitasi semuanya untuk menghadirkan ruang pendidikan dan ketenagakerjaan secara apik. Sehingga apa yang di sebut dengan missing link atau gap antara dunia pendidikan dan industri dapat diurai dengan baik karena ada konsistensi yang dibangun semua pihak dalam bentuk komunikasi.
Kedua dalam implementasi AQF, dalam bahasa saya mungkin lebih “operasional” dan integrasi pada setiap jalur penjenjangan qualifikasi dapat teridentifikasi dengan pembagian jalur capaian qualifikasi, baik melalui pendidikan formal/sekolah, VET System, Pendidikan Tinggi maupun pengalaman kerja. Dalam AQF lulusan VET dapat disetarakan atau diakui di perguruan tinggi. Misalnya mereka yang sudah memiliki sertifikat 5 di VET setara dengan diploma maka hanya perlu 1,5 tahun untuk bisa S1. Sedangkan kalau di Indonesia pengakuan kesetaraan melalui jalur pendidikan dan pelatihan belum terakomodasi dengan baik. Harusnya dengan skema KKNI memungkinkan untuk dilakukan. Sehingga jalur pendidikan formal melalui Sekolah atau Pendidikan Tinggi tetap menjadi ukuran yang paling mudah meraih jenjang qualifikasi. Mungkin ini yang perlu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk lebih mengkongkritkan implementasi KKNI pada setiap jalur dan jenjang qualifikasi.